Buscar

Ubaya Bali Festival 2014



6 Juni 2014, Lapangan Parkir Perpustakaan Ubaya

Apa yang pertama kali terlintas dalam benak saya ketika mendengar event bertajuk Art and Balinese Culture adalah kenangan akan Bali. Tapi kalau ditilik lagi, kenangan akan Bali versi anak muda seperti saya (ceileh) nggak akan jauh -jauh dari pariwisatanya, pantai dan pemandangan alam, geliat pusat perbelanjaan dan kuliner di Denpasar, juga kafe-kafe di Ubud, yaaa, intinya saya miskin akan kenangan seni dan budaya dalam konteks pertunjukan kesenian, menyedihkan. Sekali waktu saya berkesempatan menonton operet Ramayana di Uluwatu, itu pun saya tinggal tidur karena jujur saja saya bosan. Maafkan.

Untuk acara yang baru pertama kali ini, UKM KH Ubaya cukup berhasil. Banyaknya kesalahan teknis yang mengulur waktu, membuat penonton (setidaknya saya) bosan. Tapi menurut saya, mereka harus berterima kasih kepada mbok pembawa acara yang nggak garing dan menjadi alasan saya bertahan. 

UKM KH Ubaya menyediakan photo-booth dengan aksesoris khas Bali dan lighting yang memadai, sayangnya backdrop-nya kurang tinggi. Selain itu juga ada kuliner khas Bali, es kelapa mudanya nagih! Di panggung utama, selain pertunjukan tari Bali yakni tari Baris dan tari Cilinaya, pengenalan akan budaya Bali dikemas semodern mungkin mulai dari peragaan busana khas Bali,  juga ada akustik dari UKHH Unesa, Etnicoustic, dan tidak ketinggalan Teatrikal Astaga (Asrama Tirta Gangga). Sebagai puncak acara ditampilkan arakan ogoh-ogoh oleh panitia.

Malam Seni TPKH Festival 2014



22 Maret 2014, Pura Segara Kenjeran.

Don’t judge a book by it’s cover. Saya berani bertaruh banyak orang yang sepakat dan mengamini quote tersebut. Jujur saja, saya bukan tipikal orang yang gampang menge-judge, tapi realistis saja, apa yang akan diberikan tidak akan jauh-jauh dari penawarannya, kan? So, I do really think that cover needs to be considered.

Begitu pun dalam konteks acara. Menurut saya, hal yang berperan besar dalam sebuah acara setelah poster, tentu saja tagline-nya. Harmony in Social, Spiritual, and Nature yang digagas oleh TPKH ITS berhasil membujuk saya untuk meluangkan waktu untuk menyambangi Pura Segara. Seingat saya, terakhir kali saya berkunjung ke pura ini sekitar dua tahun yang lalu, saat arakan ogoh-ogoh untuk menyambut hari raya Nyepi.

Semerbak aroma wewangian dari dupa persembayangan menyambut tamu yang datang, diiringi banjir salam om swastiastu dan senyum ramah dari panitia: saya merasa pulang ke rumah.

Destinasi Pecinta Sunyi

Pantai Trenggole berada di dusun Ngasem, Desa Tepus, Kecamatan Tepus, Gunungkidul, Yogyakarta. Untuk sampai ke pantai Trenggole, saya dan kawan-kawan harus melewati jalan yang bergelombang dan berkelok-kelok. Di sepanjang jalan ini dapat kita temui rangkaian pantai lainnya. 

Mulanya, tujuan utama saya adalah pantai Pulang Syawal (lebih dikenal dengan pantai Indrayanti) yang memang telah tersohor dengan keindahannya, namun sesampainya di sana, saya tertarik dengan tebing di sebelah timur pantai ini. Tidak puas dengan pemandangan dari atas tebing, rasa penasaran membuat saya menelusuri jalan setapaknya. Rupanya di sisi lain tebing ini terdapat pantai yang lain. Tepat di ujung jalan setapak, tertera tulisan “Pantai Trenggole” pada sebuah papan kayu sederhana.

Setelah menuruni “tangga” yang seadanya, dengan bebatuan dan pegangan dari kayu pohon, sampailah saya pada pantai yang sangat sunyi. Tidak ada orang lain, selain saya dan kawan-kawan. Tentu saja saya merasa takjub karena suasananya sangat kontras dengan pantai sebelah (pantai Indrayanti) yang amat ramai dikunjungi oleh wisatawan.

Di pantai ini berserakan batu-batu besar berwarna hitam berbentuk kubus. Rupanya batu-batu ini