Kisah dongeng yang berkaitan erat dengan budaya patriarki selalu bercerita tentang seorang pangeran yang menyelamatkan sang putri dan mereka pun menikah-dan-hidup-bahagia-selamanya. Saya tidak mengelak kalau permulaan tulisan ini merupakan sebuah klaim, karena memang hendak menegaskan bahwa saya tidak hendak mengamini dongeng yang selama ini merenggut kesetaraan perempuan atas kemanusiaan tersebut.
Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi cerita mengenai keberlangsungan pernikahan saya pada tahun ini. Saya pikir saya akan terdengar lebih realistis sekaligus sentimentil dalam tulisan ini, tapi juga lebih serius ketimbang tulisan ulasan yang biasanya saya bikin lebih komikal. Jadi... Kalau Anda sedang tidak ingin serius, baiknya tidak membaca tulisan ini hahahaha...
Saya dan kekasih saya sudah menjalin hubungan selama dua tahun, dan saya pikir ini waktunya. Akad dan tasyakuran (untuk tidak menyebut resepsi) dilaksanakan selang satu bulan karena menyesuaikan bapak yang saat ini proyeknya di Medan. Oh, ya, sebelumnya, sekitar satu bulan sebelum akad, kekasih saya bersama ibu dan saudaranya telah datang ke rumah untuk melamar. Sebelumnya saya sudah bilang pada kekasih saya untuk tidak membawa hantaran atau apapun, saya pun belum meminta cincin karena saya pikir lebih baik dikenakan saat akad saja. Tapi toh dia tetap membawa barang sesuatu, untuk syarat aja, katanya.
Tidak ada acara lamaran yang besar, saya memang ingin yang sederhana, cukup kami, keluarga kami, yang saling bicara dan mengenal. Saya memang sudah sering bertemu ibunya, demikian pula ia yang bertemu orang tua saya, tapi orang tua kami belum pernah bertemu langsung, hanya sekadar lewat telepon. Kami berdua selalu berdebar saat ibu-ibu kami saling menelepon, ada rasa takut bagaimana bila tidak cocok dan sebagainya. Namun pertemuan saat lamaran membuat kami berdua lega, restu sudah ada, tinggal mengurus surat-surat yang dibutuhkan. Tidak butuh waktu lama dan tidak ada biaya untuk mengurus surat-surat pengantar nikah sebenarnya, hanya ada biaya penghulu jika didatangkan ke rumah saja. Beberapa hari setelah surat diajukan ada yang namanya rapak, semacam pencocokan data dan mendapatkan sedikit wejangan dari pemimpin KUA setempat.
Bapak saya tipikal orang yang sederhana, tidak ingin macam-macam dengan adat untuk sekadar menghindari hal yang bertentangan dengan syariat. Saya sepakat alias memang ga mau ribet hihihi. Pernikahan saya diadakan secara sederhana di rumah (tadinya mau di KUA saja, tapi ternyata ada insiden kekasih saya telat, jadi dilangsungkan di rumah), mengundang sanak saudara dan tetangga terdekat. Ibu memesan katering langganannya (yang juga dipakai jasanya saat tasyakuran, akan saya ulas lain waktu untuk referensi ya... Kalau nggak malas hahaha). Ahhh... Betapa hati saya berdebar dan terharu saat berlangsungnya ijab kabul, tidak terasa air mata menetes. Kekasih saya memasangkan cincin emas yang juga mahar (saya cuma minta alat salat dan cincin emas, tapi saya pilih sendiri keduanya hehehe). Setelah akad, kami sungkeman, jadi nangis lagi dan lunturlah maskara hahahah...
Sudah lah gitu aja nanti bosen yang baca kalau kepanjangan ya? Hehehe... Semoga ada kesempatan untuk tulisan selanjutnya ya, saya akan berbagi ulasan mengenai jasa yang saya pakai untuk serba-serbi pernikahan hehe... Terima kasih sudah membaca... Tabik.
0 komentar:
Post a Comment