Buscar

Muara(?) Sebuah Kisah

Kisah dongeng yang berkaitan erat dengan budaya patriarki selalu bercerita tentang seorang pangeran yang menyelamatkan sang putri dan mereka pun menikah-dan-hidup-bahagia-selamanya. Saya tidak mengelak kalau permulaan tulisan ini merupakan sebuah klaim, karena memang hendak menegaskan bahwa saya tidak hendak mengamini dongeng yang selama ini merenggut kesetaraan perempuan atas kemanusiaan tersebut. 


Sebagai perempuan (saya pikir laki-laki pun akan sependapat- yang dengan sendiri menunjukkan sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan atas pernikahan sebab keduanya mengantungi hak dan kewajiban yang sama-- meski, ya, konstruksi manusia melalui budaya yang membuatnya berbeda), saya mengakui bahwa pernikahan merupakan sebuah titik dalam hidup yang memang pantas ditandai karena memang mau tidak mau beberapa aspek dalam kehidupan dua insan yang menjalaninya, akan berubah. Lebih banyak kompromi, misalnya. Dan itu bukan hal yang buruk atau harus ditakuti, sebab menurut saya hal itu membuat manusia belajar mengasihi, mengerti arti toleransi yang lebih tinggi, dan bagian terbaiknya adalah menemukan jati diri. Pernikahan bukan sekadar soal seks, demikian pula seks yang bukan sekadar penetrasi. Bukan sekadar materiel, tapi juga morel. Semua akan berlangsung lancar selama manusia ingat pada pelajaran pertamanya di dunia: komunikasi, baik verbal maupun nonverbal.

Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi cerita mengenai keberlangsungan pernikahan saya pada tahun ini. Saya pikir saya akan terdengar lebih realistis sekaligus sentimentil dalam tulisan ini, tapi juga lebih serius ketimbang tulisan ulasan yang biasanya saya bikin lebih komikal. Jadi... Kalau Anda sedang tidak ingin serius, baiknya tidak membaca tulisan ini hahahaha...